Institut Teknologi Bandung atau yang lebih sering disingkat ITB merupakan universitas yang selalu berada di urutan pertama peringkat universitas terbaik se-Indonesia. Kalaupun ada yang ingin beragumen bahwa ada universitas-universitas lain yang lebih layak mendapatkan kursi peringkat pertama, tidak ada yang bisa memungkiri bahwa ITB adalah universitas berbasis teknologi terbaik se-Indonesia.
Di balik prestise besar yang dipegang universitas itu, tersimpan banyak cerita-cerita tentang berbagai prestasi hebat yang diraih mahasiswa dan alumninya, dan juga cerita-cerita tragis yang tidak kalah menggegerkan. Di samping statusnya sebagai salah universitas favorit negeri ini, tidak sedikit cerita tragis yang beredar tentang mahasiswa-mahasiswa yang kewalahan bertahan hidup di ITB lantaran standar dan tekanan yang tinggi, kurikulum yang sulit, kehidupan organisasi yang jauh lebih melelahkan daripada universitas lain, dan banyak keluh kesah lainnya. Tak jarang cerita perjuangan mereka berakhir dengan kematian mengenaskan yang mereka ciptakan sendiri. Untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa sulitnya sebenarnya penderitaan yang dialami oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dan untuk mencoba lebih memahami keresahan mereka, saya pun mencoba menghubungi salah satu teman saya yang saat ini menjalani kehidupan perkuliahan di ITB lewat video call. Kebetulan ia juga merupakan alumni dari sekolah SMA yang sama dengan saya.
Namanya Linda. Linda tok saja. Ia adalah mahasiswi jurusan Manajemen Rekayasa angkatan 2017 Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung jebolan SBMPTN. Baginya, menjadi mahasiswi di universitas yang selalu berada di urutan pertama peringkat universitas terbaik se-Indonesia itu merupakan suatu prestasi sekaligus kebanggaan yang sangat istimewa. Tentu saja itu tidak ia dapatkan semudah membalikkan telapak tangan. Besar perjuangannya hanya untuk bisa mendapatkan status sebagai mahasiswa di universitas teknik terbaik se-Indonesia itu. Baru-baru ini ia mulai menyadari bahwa bertahan hidup di sana memerlukan usaha yang jauh lebih besar dibandingkan dengan usaha yang diperlukan untuk mendapatkan jatah kursi mahasiswa semata.
Ia mengakui, menjalani kehidupan perkuliahan di ITB apalagi sebagai anak rantau memang tidak mudah. Tanda-tandanya sudah jelas. Tak sedikit teman-temannya di ITB yang memutuskan untuk keluar dari universitas itu ketika memasuki tahun kedua, baik teman-teman yang ia kenal dekat maupun yang hanya sekedar tahu. Tentu saja ia juga melewati kesulitan yang sama dengan teman-temannya itu. Tahun pertamanya di sana tidak berakhir dengan bagus sesuai yang ia harapkan. Ia mengakui bahwa saat time management-nya sangatlah buruk. Ia masih kesulitan menyeimbangkan waktu-waktu penting yang harus ia bagi antara kuliah, organisasi, dan waktu untuk dirinya sendiri. Seringkali ia berakhir dengan keputusan untuk mengorbankan waktu untuk dirinya sendiri karena keterpaksaan. Ia tidak sanggup menurunkan skala prioritas hal-hal yang ia jalani di kampus. Alhasil, nilai IP tahun pertamanya mengecewakan. Portfolio untuk CVnya menjadi banyak memang, namun 2,67 bukan nilai yang bisa ia banggakan kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Jabatan-jabatan di berbagai event dan organisasi yang ia ikuti juga tidak berarti banyak baginya karena dalam menjalaninya ia mengorbankan banyak sekali waktu dan usahanya. Tak jarang ia terpuruk dan menangis ketika sedang mengerjakan tugas-tugasnya itu pada tengah malam.
Tahun keduanya pun tidak jauh berbeda. Meskipun ia tidak sesibuk di organisasi seperti tahun pertamanya, ia tetap kesulitan menjalani kehidupan perkuliahan dengan mulus. Mahasiswi asal Binjai itu menyadari bahwa memang sejak dulu ia bukanlah anak yang pintar dan cemerlang seperti teman-temannya yang lain di ITB. Untuk memahami pelajarannya, ia harus bekerja keras setiap malamnya mengerjakan tugas dan memeras otaknya untuk dapat setidaknya mengerti konsep dari apa yang sedang ia pelajari, sedangkan teman-temannya tidak memerlukan usaha besar yang berarti untuk mendapatkan hasil yang sama. Terlebih lagi, bidang yang ia geluti merupakan bidang yang notabenenya didominasi oleh pria. Menurutnya hal ini juga merupakan sebuah variabel yang menghambat perkembangannya. Sejak berkuliah di ITB, ia menjadi lebih sering jatuh sakit. Keadaan ini diperparah dengan tubuh perempuannya yang secara alami akan menimbulkan ketidaknyamanan dan sakit yang sangat menganggu setiap bulannya. Kepergian teman-teman dekatnya dari universitas itu padahal selama satu tahun terakhir telah menjadi support system-nya juga sama sekali tidak membantu keadaannya.
Akhir-akhir ini ia menyadari bahwa ambisinya yang besar sejak SMA untuk masuk ITB tidak didasari oleh sesuatu dari dalam dirinya. Anak sulung dari tiga bersaudara ini selama ini tergerak oleh dorongan untuk menyanjung orang-orang lain selain dirinya sendiri, untuk membuktikan pada keluarga besar beserta famili-familinya bahwa ia tidak pantas dipandang sebelah mata hanya karena ia seorang perempuan dan ia tidak pernah punya prestasi cemerlang yang berarti. Ia mengaku dibutakan oleh potensi prospek yang dapat dihasilkan dari jalan hidup yang telah ia pilih.
Kenaifan stereotip seperti ini bisa jadi dialami juga oleh mahasiswa-mahasiswa ITB yang lain, mungkin pada derajat yang lebih memprihatinkan. Tidak heran banyak yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjuangannya di ITB dan berpindah haluan ke tempat yang lain, sedangkan yang bersikukuh bertahan berakhir dengan menyedihkan.
Posting Komentar
Posting Komentar