Harus diakui, film Aladdin
versi 1992 menjadi salah satu film Disney yang dicintai. Buktinya, enggak ada
yang bisa melupakan sosok Putri Jasmine, Aladdin, Genie, dan lagu A Whole New World hingga
kini. Guy Ritchie patut berbangga hati sekaligus harus berani menghadapi
tantangan bikin remake
live action dari produk pop culture tersebut.
Mengikuti kisah Aladdin (Mena Massaoud), pencuri ulung yang hidup
sebatang kara bersama monyetnya, Abu. Dia jatuh cinta kepada Putri Jasmine
(Naomi Scott) dari Agrabah setelah bertemu secara kebetulan di pasar. Karena
ketahuan mencuri, Jafar, Perdana Menteri Agrabah, membawanya ke suatu gua yang
berisi emas. Dia pun menemukan lampu ajaib berisi jin yang dapat mengabulkan
tiga permintaan.
Tanpa bermaksud melebihkan, film Aladdin
menjadi salah satu live action terbaik Disney, setelah Beauty and
the Beast (2017). Film ini menawarkan pertunjukan meriah: petualangan fantasi dalam drama musikal dan
lelucon yang renyah. Bisa dibilang, film Aladdin tidak terlalu dipromosikan segencar film-film
Marvel, meski satu rumah Mickey. Bahkan, enggak banyak yang berekspektasi besar
soal film ini. Beruntungnya, film garapan Ritchie ini enggak mengecewakan.
Richie enggak hanya membuat penonton merasakan nostalgia untuk film versi 1992,
tetapi juga menyadari bahwa ini adalah film Aladdin yang baru, modern, dan layak diapresiasi.Sayangnya, penggambaran stereotip terhadap budaya Arab, salah satunya pada lagu Arabian Nights, memberikan konotasi kurang baik. Meski terasa segar, menjelang akhir cerita terasa seperti sedikit antiklimaks. Ya, itu jadi salah satu dampak ketika Ritchie mempertahankan materi asli. Berbeda dengan film animasinya, Ritchie memilih mengangkat konflik masyarakat ketimbang penggambaran suatu suku atau ras. Sebaliknya, film Aladdin menyoroti soal seberapa tuluskah kita berperilaku terhadap sesama manusia?
Demi mempertahankan materi asli yang dibuat modern, Ritchie cukup selektif dalam memilih para bintangnya. Mena Massoud pas menggambarkan Aladdin yang mungkin saja perannya membuka jalannya ke Hollywood. Putri Jasmine yang diperankan Naomi Scott menjadi bagian yang jauh lebih besar dari cerita. Seperti yang kita tahu, Putri Jasmine dikenal sebagai putri Disney yang paling feminis, karena dia menolak dinikahkan dengan sembarang pangeran. Inilah yang jadi fondasi karakternya yang dibuat lebih relevan untuk era modern. Chemistry Massoud dan Scott berhasil membawa cerita menjadi emosional. Bahkan, nonmanusia seperti Abu dan karpet ajaib dibuat berkarakter. Dilengkapi oleh Will Smith sebagai Genie yang membawa energi menyenangkan sejak awal, meski CGI-nya kurang sempurna. Bisa jadi karena fokus pada kisah Aladdin dan Jasmine, porsi karakter Jafar sebagai villain terasa kurang: kurang bengis dan kurang banyak. Ya, terlepas dari itu, semua karakter punya satu kesamaan, yaitu memiliki konflik agar terasa realistis.
Sukses dongkrak cerita, lagu-lagu klasiknya juga berhasil dibangkitkan dan diprediksi kembali hit. Sayangnya, A Whole New World yang diharapkan jadi klimaks, pamornya kurang dibandingkan lagu-lagu lainnya. Ya, kurang bikin merinding, karena sebelumnya sudah disuguhkan lagu dan tarian meriah. Salah satu hal di luar ekspektasi ketika beberapa adegan di cuplikan film Aladdin tampak seperti adegan di film Bollywood karena menampilkan tarian dengan kostum-kostum meriah. Hal itu akan ditepis pas kalian nonton filmnya. Desain produksi dan kostum sangat mewah, baik di gua harta karun, di Istana Agarabah, atau di lingkungan penduduk. Setiap bingkai film penuh dengan detail visual yang berkilauan.
Film Aladdin jelas enggak sempurna, tapi kekurangannya bisa dimaafkan karena bisa menghidupkan animasi klasik ini dengan indah. Kalian akan dibuat tertawa ngakak dan kagum tanpa jeda. Ritchie enggak menyimpang terlalu jauh dari apa yang kita harapkan dari Disney. Dengan cara yang sama, Disney enggak ingin menyimpang terlalu jauh dari apa yang kita harapkan dari film Aladdin. Pas dan cukup memorable. Bahkan dengan kekurangannya, aspek-aspek bagus dari Aladdin lebih besar dan menjadikannya sebagai blockbuster yang menyenangkan. Selama hal positif ini terus berlanjut, maka Disney akan sukses dengan live action berikutnya. Buat kalian yang suka dengan Aladdin versi 1992, kalian akan suka dengan film ini. Namun, buat kalian yang mengharapkan cerita baru seperti yang dilakukan Disney dalam beberapa filmnya, siap-siap enggak memenuhi ekspektasi. Mirip seperti Beauty and the Beast, buat yang enggak suka drama musikal ala princess Disney, akan biasa aja menontonnya. Ya, tontonlah tanpa ekspektasi tinggi.
Posting Komentar
Posting Komentar