Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab
kerusakan hutan yang memiliki banyak dampak negatif. Dampak dari kebakaran
hutan di antaranya yaitu dapat menimbulkan asap yang akan mengganggu aktivitas
kehidupan manusia. Selain itu juga akan menyebabkan wabah penyakit seperti
infeksi saluran pernapasan. Kebakaran hutan juga akan menyebabkan musnahnnya
plasma nutfah yang berakibat pada kerusakan ekosistem lingkungan, hilangnya
tempat tinggal untuk para hewan yang hidup di hutan, serta dapat mengakibatkan
turunnya kualitas dan kuantitas hutan tersebut. Akhirnya, hutan yang terbakar
akan menimbulkan banyak kerugian bagi manusia dan juga dapat memusnahkan
rumah-rumah dan lahan pertanian yang ada di sekitarnya.
Saat ini, kebakaran hutan menjadi berita atau topik
yang lagi hangat. Terutama kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sedang
terjadi di Indonesia terutama di Riau dan Kalimantan. Kebakaran terjadi saat
musim kemarau 2019 yang akhirnya memicu bencana asap di banyak daerah.
Akibatnya, asap pun melanda kota-kota di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Barat, dan lainnya. Hal tersebut mengganggu aktivitas masyarakat serta
melumpuhkan aktivitas pendidikan karena pandangan terhalang dan akan sulit
untuk mendapatkan udara segar. Tidak hanya itu, kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi juga mengakibatkan hewan-hewan liar kehilangan tempat tinggalnya,
bahkan hingga mati mengenaskan.
Sebagai catatan, kebakaran hutan dan lahan pernah
terjadi di Riau dan Kalimantan tahun 1997 silam yang disebut-sebut terparah
dalam sejarah. Dalam rentang 1997, Riau pernah terbebas dari karhutla dan kabut
asap, yaitu 2007, 2008, 2016, 2017, dan 2018. Namun bencana tersebut terjadi
lagi pada tahun 2014 dan 2015, di mana bencana tersebut dianggap status tanggap
darurat. Dan pada tahun ini, kebakaran hutan dan lahan datang kembali dengan
kondisi yang semakin parah bahkan hingga membuat Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) kewalahan dalam memadamkan api karena peralatan yang dimiliki
tidak cukup memadai. Kebakaran hutan dan lahan pun masih berkobar, warga
setempat menjadi korban lantaran dampak yang muncul dari kebakaran hutan
tersebut. Tidak hanya itu, kabut asap ini bukan hanya dirasakan oleh masyarakat
Indonesia saja, melainkan negara tetangga juga ikut terkena dampaknya, seperti Malaysia
dan Singapura.
Kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan
lahan di Riau dan Kalimantan tentu membuat masyarakatnya khawatir. Di antara
mereka ada yang memilih mengungsi ke Kota Medan, dan juga Binjai hingga kondisi
udara di tempat tinggal mereka kembali bersih.
Berdasarkan data yang saya dapat dari berbagai informasi,
luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama 2019 ini sudah mencapai
328.722 hektare. Dari data tersebut, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat
seluas 44.769 hektare, Kalimantan Barat 25.900 hektare, Jambi 11.022 hektare,
dan Riau 49.266 hektare. Sementara itu, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di
Kalimantan Tengah mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara berada pada level
berbahaya. Selanjutnya, kualitas udara di Kalimantan Barat dan Riau masuk dalam
kategori tidak sehat dengan angka ISPU masing-masing 192 dan 160. Dampak
kondisi level ini umumnya akan menjadi penurunan jarak pandang dan penyebaran
luas debu.
Di lansir dari TEMPO.CO,
penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau dan Kalimantan ini
diduga berasal dari akibat ulah tangan manusia, di mana mereka menggunakan
praktik land clearing yang
memanfaatkan musim kemarau yang panjang. Land
clearing sendiri adalah proses pembersihan lahan sebelum aktivitas
penambangan dimulai. Jadi, karhutla ini murni karena ulah manusia.
Persoalan kebakaran hutan dan lahan yang saat ini
sedang terjadi sebaiknya haruslah ditanggapi dengan sikap yang tegas. Sebelum
penyakit datang, kita lebih baik mencegahnya. Jadi masyarakat dihimbau untuk
mengurangi aktivitas di luar rumah jika tidak terlalu berkepentingan dan harus
menggunakan masker saat sedang di luar rumah.
Posting Komentar
Posting Komentar