Ibu adalah malaikat tanpa sayap. Ungkapan itu memang
benar adanya. Ibu tercipta untuk menciptakan kehidupan baru melalui buah
hatinya. Setiap ibu membawa kejaiban untuk anak-anaknya. Mereka mendedikasikan
sebagian besar hidupnya untuk kehidupan anak-anaknya. Salah satunya adalah
perempuan bertubuh gempal dengan baju batik khas pengajar yang sedang
berbincang dengan kami waktu itu.
Namanya
Sudarti, seorang ibu berusia 51 tahun yang harus menghidupi ketiga anaknya
dengan seorang diri. Suaminya meninggal dunia tiga tahun silam dengan sangat
tiba-tiba. Meninggalkan kesedihan, tanggungan, dan juga utang. Ibu Sudarti
bekerja sebagai seorang guru di salah satu sekolah dasar swasta di Medan.
Dengan penghasilan sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah setiap bulannya, Ibu
Sudarti dituntut untuk memenuhi kebutuhan harian dan biaya sekolah ketiga
anaknya beserta utang yang masih harus dilunasi. “Ya kalau ditanya cukup atau
tidak, sudah pasti sangat tidak mencukupi. Tapi Allah selalu memberi rezeki,
jadi gak perlu takut.” ujarnya dengan
yakin.
Sadar akan kebutuhan yang menggunung dan pemasukan
yang berkurang, Ibu Sudarti tidak tinggal diam. Dia memutar otak agar bisa
mendapatkan uang tambahan untuk biaya sekolah anaknya. “Dari kecil, saya sudah
terbiasa berjualan dengan ibu saya. Jadi, untuk menambah uang ya saya jualan.
Pernah jualan jajanan di tempat saya mengajar. Pernah juga jualan mie goreng
sama nasi goreng. Ya laku, Alhamdulillah, seharinya bisa dapat 100 ribu. Tapi
karena terlalu repot tiap paginya, saya jadi sering terlambat. Akhirnya, pihak
sekolah melarang saya untuk berjualan. Pernah juga coba jualan di rumah, tapi
kurang laku karena lokasinya di dalam gang.”
jelasnya panjang lebar. Bukan hanya berjualan, Ibu Sudarti juga pernah mencoba
untuk menjadi guru honor di kelas sore SD negeri di sekitar tempat tinggalnya.
Namun karena penyakit jantung yang dideritanya, dia menjadi mudah kelelahan dan
tidak sanggup mengajar. Bak takdir menjemput, Ibu Sudarti pun mendapat jalan
untuk kembali berjualan. Kali ini, ia dan guru-guru di tempatnya mengajar diminta
untuk mengolah kantin sekolah bersama-sama. Dari hasil berjualan, uang yang
didapat setiap harinya cukup untuk uang saku anak-anaknya dan sisanya ia tabung
untuk membayar utang.
Pada saat suaminya meninggal, dua anak Ibu Sudarti
adalah siswa/siswi SMA negeri favorit di daerah tempat tinggal mereka.
Sementara yang paling kecil adalah siswa sekolah dasar tempat Ibu Sudarti
mengajar. Untuk biaya sekolah, kedua anak Ibu Sudarti mendapatkan bantuan dari
pihak sekolah sehingga tidak diwajibkan untuk membayar iuran bulanan. “Awalnya
cuma si Abang saja yang dapat bantuan karena dia duluan sekolah dan satu keluarga
hanya satu orang yang mendapat bantuan komite. Tapi setelah Ayahnya meninggal,
saya mengajukan surat permohonan dan karena si Kakak juga berprestasi, akhirnya
dikasih bantuan juga sama pihak komite sekolah. Alhamdulillah berkurang dua
beban keuangan.” jelasnya dengan sumringah. Sementara itu, tinggal anak bungsunya
yang harus membayar biaya sekolah.
Perkataan Ibu Sudarti tentang rezeki dari Allah memang
benar adanya. Hampir di setiap hari Jumat ada orang yang datang dan memberikan
santunan anak yatim kepada keluarga mereka. Untuk biaya makan pun mereka tidak
perlu terlalu khawatir. “Karena kami tinggal di lingkungan keluarga, jadi kalau
ada apa-apa lebih gampang. Misalnya, saya lagi tidak di rumah dan tidak ada
makanan, maka anak-anak saya akan pergi ke rumah budenya untuk meminta lauk.
Jadi, tinggal berdekatan dan punya hubungan yang baik dengan keluarga juga
sangat membantu keuangan kami waktu dulu.” tuturnya.
Setelah tiga tahun berlalu, Ibu Sudarti berhasil
bangkit dari keterpurukannya dan mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga
lulus SMA dan SD. Saat ini, anak sulungnya sedang menempuh pendidikan di
Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan berada di tahun ketiga. Sementara itu,
anak perempuannya juga menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara,
jurusan Ilmu Komunikasi di tahun kedua. Dan si bungsu bersekolah di SMP Kemala
Bhayangkari 1 Medan di kelas 8. “Saya bersyukur sekali anak saya bisa lulus di
IPDN dengan murni, yang satunya bisa berkuliah di kampus negeri, bahkan
mendapat bantuan beasiswa. Kalau diingat perjuangannya si Abang, sore les di sekolah,
malam langsung les di luar, pulangnya jam 11 malam, kadang hujan, mana
tempatnya jauh, banyak bahayanya. Tapi Alhamdulillah terbayar lunas. Melihat si
Kakak sampai ngedrop karena gak lulus SNMPTN, Alhamdulillah diganti
pas SBMPTN. Alhamdulillah doa saya setiap malam didengar sama Allah.” jelasnya
sambil terharu. Selain berhasil menyekolahkan anaknya di tempat yang bagus, Ibu
Sudarti juga berhasil melunasi sebagian utangnya dan melengkapi sedikit demi
sedikit bangunan rumahnya.
Menurut Ibu Sudarti, tugasnya sebagai seorang ibu
tunggal belum berakhir sampai di sini. Mengingat anak bungsunya masih memiliki
jalan yang panjang ke depannya. Selain itu, kedua anak lainnya masih menjadi
tanggungan Ibu Sudarti hingga mereka memiliki pekerjaan dan berkeluarga
nantinya. Ibu Sudarti telah membuktikan bahwa seorang wanita bukanlah makhluk
yang lemah dan menjadi ibu tunggal bukan berarti tidak mampu menyukseskan
kehidupan anak-anaknya terutama pendidikan. “Saya selalu bilang sama anak saya
yang perempuan, kalau jadi perempuan itu harus mandiri, jangan terlalu
bergantung sama orang lain apalagi laki-laki. Kita boleh jadikan orang lain panutan,
tapi jangan sepenuhnya bersandar pada mereka. Karena manusia punya waktunya
masing-masing dan satu per satu dari mereka akan dipanggil pulang sama Allah.”
ucapnya menutup perbincangan kami hari itu.
Posting Komentar
Posting Komentar