Kebakaran hutan
dan lahan (karhutla) masih terus terjadi di Indonesia, terutama di Sumatera dan
Kalimantan. Kejadian saat musim kemarau 2019 tersebut kembali memicu bencana
asap di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimanatan Barat pada
September 2019. Tagar #RiauDibakarBukanTerbakar menempati lima besar topik
paling tren di media sosial twitter pada 13 September 2019. Tagar tersebut muncul akibat
kegelisahan warga Riau karena kabut asap karhutla begitu pekat sehingga kualitas
udara buruk, bahkan berbahaya.
Menurut data
dari situs iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul
15.00 WIB, Indeks Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah)
mencapai 500, itu berarti kualitas udara di Palangkaraya berada pada level berbahaya
bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut. Jumlah penderita infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) akibat karhutla mencapai 919.516 orang hingga
September 2019.
Berdasarkan data
KLHK, luas karhutla di Indonesia selama 2019 tercatat sudah mencapai 44.769 ha
di Kalimantan Tengah, 25.900 ha di Kalimantan Barat, 19.490 ha di Kalimantan
Selatan, 11.826 ha di Sumatera Selatan, 11.022ha di Jambi, dan 49.266 ha di
Riau. Hingga 16 September 2019, polisi telah menepatkan 185 tersangaka perseorangan
serta 4 korporasi terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar, dan Kalteng yaitu: PT
ABP, PT AEL, PT SKN, dan PT KS.
Karhutal yang
terus berulang membuktikan pemerintah belum
menangani akar masalah. Tindakan pemerintah untuk mengatasi karhutla
masih reaktif dengan pemadaman belum pada pencegahannya. Diduga ada pola dari
karhutlah ini sebagai modus pembersihan lahan. Banyak lahan-lahan yang terbakar
tahun lalu, kini berubah menjadi kebun sawit. Sangat disayangkan pemerintah
masih memberikan keleluasaan terhadap praktik-praktik tersebut dan memberikan
sanksi ringan. Semestinya pemerintah sebutkan terbuka para pelaku pembakaran
hutan, tidak lagi bersembunyi di balik inisial.
Perusahaan-perusahaan
tersebut seharusnya masuk dalam blacklist
pemerintah dan lembaga pendana.
Selain itu, perlu ada keterbukaan informasi kepada publik baik pengumuman
pelaku pembakaran hutan hingga upaya lain dalam pencegahan dan penanganan
karhutla. Selama ini, pemerintah ikut serta dalam praktik-praktik buruk
tersebut karena tidak memberikan sanksi tegas kepda pelaku pembakaran hutan dan
lahan.
Posting Komentar
Posting Komentar